Makalah Efusi Pleura


MAKALAH EFUSI PLEURA




BAB I

          A.   Latar Belakang
Efusi pleura merupakan penyakit saluran pernapasan. Penyakit ini bukan merupakan suatu disease entity tetapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita (WHO).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Secara geografis penyakit ini terdapat diseluruh dunia bahkan menjadi masalah utama di negara – negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan di Indonesia. Penyakit efusi pleura dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai secara sporadis tetapi lebih sering bersifat epidemik di suatu daerah.
Pengetahuan yang dalam tentang efusi pleura dan segalanya merupakan pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan yang tepat. Disamping pemberian obat, penerapan proses keperawatan yang tepat memegang peranan yang sangat penting dalam proses penyembuhan dan pencegahan, guna mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat efusi pleura.


BAB II

A.   PENGERTIAN

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbs dikapiler dan pleura vesiralis. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan dirongga pleura, jika kondisi ini dibiarkan akan membahayakan penderitanya. (Arif Muttaqin, 2008)
Efusi pleura adalah suatau keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga pleura. (Irman Somantri, 2002)
Efusi pleura atau pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan pariental, adalah proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. (Smeltzer Bare, 2002)
Jika terjadi penimbunan cairan dalam rongga pleura maka keadaan ini dinamakan efusi pleura. (Taqiyyah Bararah, 2013)
           Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan (terjadi penumpukan cairan dalam rongga pleura). (Irman Somantri, 2009)


B.    ETIOLOGI
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi lagi menjadi transudat, eksudat, dan hemoragi.
1.     Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongesif (gagal jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hati), sindrom vena kava superior, tumor, dan sindrom meigs.
2.   Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi, dan penyakit kolagen.
3.   Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, dan tuberculosis.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung kongesif, sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus sistemis, tumor, dan tuberculosis. (Arif Muttaqin, 2008)
Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder. Kelainan primer pada pleura hanya ada dua macam, yaitu:
1.      Infeksi kuman primer intrapleura
2.    Tumor primer pleura
(Irman Somantri, 2002)

C.    PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura di bentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada umumnya, efusi terjadi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat) sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (efek samping dari) peradangan atau keterlibatan noeplasma. Contoh bagi efusi pleura dengan pleura normal adalah payah jantung kongestif. Pasien dengan pleura yang awalnya normal pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongestif. Ketika jantung tidak dapat memompa darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada dalam pembuluh darah apada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura perietalis karena hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpulan abnormal cairan pleura.
Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal tersebut berdasarkan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskuler (tekanan osmotic yang dilakukan oleh protein).
Luas efusi pleura yang mengancam volume paru-paru, sebagian akan tergantung atas kelakuan relative paru-paru dan dinding dada. Dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung recoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk recoil ke dalam (paru-paru tidak dapat berkembang secara maksimal melainkan cenderung untuk mengempis).
(Irman Somantri, 2002)
Normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam ronggga pleura. Jumlah cairan dirongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis sebesar 9 cmH2O. akumulasi cairan pleura dapat terjadi  apabila tekanan osmotic koloid menurun (misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat proses peradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung) dan tekanan negative intrapleura apabila terjadi atelektasis paru.
Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan proses akumulasi cairan dirongga pleura terjadi akibat beberapa proses yang meliputi:
1.     Adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura.
2.   Gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam ronggga pleura.
3.   Menurunnya tekanan osmotic koloid plasma juga memungkinkan terjadinya transudasi cairan yang berlebihan.
4.   Adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya membrane kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat.
Infeksi pada tuberculosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran pernapasan menuju alveoli, sehingga terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfangitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permeabilitas membrane. Permeabilitas membrane akan meningkat dan akhirnya menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberculosis paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga diakibatkan dari robeknya perkijuan kea rah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga, atau kolumna vertebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberculosis paru adalah eksudat yang berisi protein dan terdapat pada cairan pleura akibat kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serosa namun kadang-kadang bisa juga hemarogi.
(Arif Muttaqin, 2008)
      Pada gangguan tertentu, cairan dapat berkumpul dalam ruang pleura  pada titik dimana penumpukan ini akan menjadi bukti secara klinis, dan hampir selalu merupakan signifikan patologi. Efusi dapat terdiri atas cairan yang secara relative jernih, yang mungkin merupakan transudat atau eksudat, atau mengandung darah atau purulen. Transudat (filtrate plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh) terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorbsi cairan pleura terganggu, biasanya oleh ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau onkotik. Transudat menandakan bahwa kondisi seperti asites atau penyakit sistemik seperti gagal jantung kongestif atau gagal ginjal mendasari penumpukan cairan. Eksudat (ekstravasasi cairan ke dalam jaringan atau kavitas) biasanya terjadi akibat inflamasi oleh produk bakteri atau tumor yang mengenai permukaan pleural. 
      Efusi pleura mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongesif, tuberkolosis, pneumonia, infeksi paru (terutama virus), sindrom nefrotik, penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplastik. Karsinoma bronkogenik adalah malignansi yang paling umum berkaitan dengan efusi pleura. Efusi pleura dapat juga tampak pada sirosis hepatis, emblosme paru, dan infeksi parasitik.
             (Smeltzer Bare, 2002)


 
D.   PATHWAYS KEPERAWATAN




E.    MANIFESTASI KLINIK
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi maglinan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menuntukan keparahan gejala. Efusi pleura yang luas akan menyebabkan sesak napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan bunyi datar , pekak saat diperkusi. Egofoni akan terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat efusi pleural kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak terdapat.
Keberadaan cairan dikuatkan dengan rontgen dada, ultrasound, pemeriksaan fisik, dan torakosentesis. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan Gram, basil tahan asam (untuk tuberculosis), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat dehidrogenase [LDH], protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan Ph. Biopsi pleura mungkin juga dilakukan
    (Smeltzer Bare, 2002)

Kebanyakan efusi pleura bersifat asimptomatik, timbul gejala sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritik. Ketika efusi sudah membesar dan menyebar, kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan napas pendek. Tanda fisik meliputi deviasi trachea menjauhi sisi yang terkena, dullness pada perkusi dan penurunan bunyi pernapasan pada sisi yang terkena. (Irman Somantri, 2008)
Gambaran klinis yang bisa dijumpai pada pasien efusi pleura antara lain:
1.     Jika efusi pleura hanya sedikit (< 200-300 ml) biasanya tanpa disertai dengan gejala.
2.   Pada efusi pleura yang lebih banyak dapat terjadi dispnea, terutama bila disertai penyakit kardiopulmonar sebagai penyakit yang mendasari.
3.   Nyeri dada pleuritik (khususnya pada efusi eksudat) dan batuk kering.
4.   Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena efusi.
5.    Penurunan fremitus vocal dan raba.
6.   Redup pada perkusi diatas efusi pleura.
7.    Berkurangnya suara napas di atas efusi pleura.
8.   Pada efusi yang luas disertai penekanan pada paru, didapatkan aksentuasi suara napas dan egofoni tepat diatas batas efusi.
9.   Jika terjadi pleuritis ditandai dengan friction rub pleural
10. Jika terjadi efusi massif disertai peningkatan tekanan intrapleura akan terjadi pergeseran trakea kea rah kontralateral (menjauhi sisi yang mengalami efusi) disertai dengan pendataran spatium interkostal.
(Taqiyyah Bararah, 2013)

F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.     Pemeriksaan Radiologi
Pada fluroskopi maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak tumpul dan diagfragma kelihatan meninggi. Untuk memastikannya, perlu dilakukan dengan foto thoraks lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus). Foto ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit. Pemeriksaan radiologi foto thoraks juga diperlukan sebagai monitor atas intervensi yang telah diberikan dimana keadaan keluhan klinin yang membaik dapat lebih lebih dipastikan dengan penunjang pemeriksaan foto thoraks. (Arif Mutaqqin, 2008)

2.   Biopsi Pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura melalui biopsy jalur perkutaneus. Biopsy ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura). (Arif Mutaqqin, 2008)
Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukan 50-75% diagnosis kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsy pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsy ulangan. Komplikasi biopsy adalah pneumotoraks, hemotoraks, dan penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.  (Irman Somantri, 2008)

3.   Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total paru, dan penyakit pleura pada tuberkulosis kronis tahap lanjut. (Arif Mutaqqin, 2008)

4.    Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnosis maupun terapeutik. Pelaksanaan dilakukan sebaiknya pada posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru-paru disela iga IX garis aksila posterior dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi sekaligus banyak akan menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru-paru. Edema paru-paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang. (Irman Somantri, 2008)
Torakosentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis, dan untuk menghilangkan dispnea. Namun bila penyebab dasar adalah malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torakosentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumotoraks. Dalam keadaan ini pasien mungkin diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru. (Smeltzer Bare, 2002) 

5.    Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopis biasanya dapat berupa cairan hemoragi, eksudat, dan transudat.
a.    Haemorrhagic pleural effusion, biasanya terjadi pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberculosis.
b.    Yellow exudates pleural effusion, terutama terjadi pada keadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.
c.    Clear transudate pleural effusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner.

Hasil
Kemungkinan penyebab/penyakit
Leukosit 25.000 (mm³)
Empiema
Banyak neutrofil
Pneumonia, infrak paru, pancreatitis, dan TB paru
Banyak limfosit
Tuberculosis, limfoma, dan keganasan
Eosinofil meningkat
Emboli paru, polyathritis nodosa, parasit, dan jamur
Misotel banyak
Jika terdapat misotel kecurigaan TB bisa disingkirkan
Sitologi
Hanya 50-60% kasus-kasus keganasan dapat ditemukan keberadaan sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas, atau atelektasis
Eritrosit
Mengalami peningkatan 1000-10.000/mm³, cairan tampak hemoragis, dan sering dijumpai pada penderita pakreatitis atau pneumonia. Bila eritrosit . 100.000 mm³ menunjukan adanya infark paru, trauma dada, dan keganasan

G.   KOMPLIKASI
Komplikasi efusi pleura, yaitu:
a.    Kollaps paru: hal ini terjadi jika paru-paru dikelilingi kumpulan cairan dalam waktu yang lama.
b.   Empyema: bila cairan pleura terinfeksi menjadi abses, yang akan membutuhkan drainase yang lama.
c.    Pneumothoraks, dapat merupakan komplikasi dari torakosentesis.
d.    Gagal nafas.

H.  PENGKAJIAN FOKUS
1.     Anamnesi
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, /agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan, pekerjaan klien dan asuransi kesehatan.
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong klien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada klien dengan efusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak napas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritis akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokalisasi terutama pada saat batuk dan bernapas serta batuk nonproduktif.

2.    Riwayat Kesehatan
a.    Riwayat penyakit saat ini
Klien dengan efusi pleura biasanya akan di awali dengan adanya keluhan seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat badan menurun. Perlu juga ditanyakan sejak kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.
b.   Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan pula, apakah klien pernah menderita penyakit sepeti TB paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites, dan sebagainya. Ha; ini perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya kemungkinan faktor predisposisi.
c.    Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang memungkinkan dapat menyebabkan efusi pleura seperti kanker paru, asma, TB paru, dan lain sebagainya.
d.     Pengkajian psikososial
Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan klien terhadap penyakit, bagaimana cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku klien terhadap tindakan yang dilakukan kepada dirinya.

3.    Pemeriksaan Fisik
a.     B1 (Breathing)
1)    Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembungan pada sisi yang sakit). Pengkajian batu yang produktif dengan sputum purulen.
2)  Palpasi
Pendorongan mediastinum ke arah hemithoraks kontralateral Yng diketahui dari posisi trakhea dan ictus cordis. Taktil fremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya >300 cc. Di samping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
3)  Perkusi
Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari 
jumlah cairannya.
4)  Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, cairan semakin ke atas semakin tipis.
b.    B2 (blood)
Pada saat dilakukannya inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normalyang berada pada ICS 5 pada linea medio claviculus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penggeseran jantung.
1)    Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus memerhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung. Selain itu, perlu juga memeriksa adanya thrill, yaitu getaran ictus cordis. Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung daerah mana yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah terjadi pergeseran jantung karena pendorongan cairan efusi pleura. Auskultasi dilakukan untuk menentkan bunyi jantung l dan ll tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung lll yang merupakan gejala payah jantung, serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
c.    B3 (Brain)
Pada saat filakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji, setelah sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan apakah klien berada dalam keadaan compos mentis, somnolen, atau koma. Selain itu fungsi-fungsi sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
d.    B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria, karena itu merupakan tanda awal syok.
e.    B5 (Bowel)
Pada saat inspeksi, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa. Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
f.      B6 (Boner)
Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya edema peritibia, feel pada kedua ekstrimitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta dengan pemeriksaan capillary refill time. Selanjutnya dilakukan peneriksaan kekuatan otot untuk kemudian ibandingkan antara bagian kiri dan kanan.

4.   Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tetapi kadang-kadang sulit juga, sehingga perlu pemeriksaan penunjang seperti sinar tembus dada. Diagnosa yang pasti bisa didapatkan melalui tindakan torakosentesis dan biopsi pleura pada beberapa kasus.
a.    Pemeriksaan Radiologi
Pada fluoroskopi maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak tumpul dan diagfragma kelihatan meninggi. Untuk memastikannya, perlu dilakukannya dengan foto torhaks lateraldari sisi yang sakit (lateral dekubitus). Foto ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit. Pemeriksaan radiologi foto thoraks juga diperlukan sebagai monitor atas intervensi yang telah diberikan dimana keadaan keluhan klinis yang membaik dapat lebih dipastikan dengan penunjang pemeriksaan foto thoraks.

b.   Sinar Tembus Dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang bisa berasal dari luar atau dari dalam paru-paru itu sendiri.
Hal ini yang dapat terlihat dalam foto dada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Akan tetapi, bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan, mediastinum akan tetap pada tempatnya.

c.    Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik. Torakosentesis sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah paru di sela iga ke-9 garis aksila posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1.000-1.500 cc pada setiap kali aspirasi. Jika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, maka akan menimbulkan syok pleura (hipotensi) atau edema paru. Edema paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.

d.    Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsi pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotorak, hemotorak, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.
Bopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui biopsi jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura)

e.    Pengukuran Fungsi Paru (Spirometer)
Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total paru, dan penyakit pleura pada teberkulosiskronis tahap lanjut.

f.      Pendekatan pada Efusi yang tidak terdiagnosis.
Pemeriksaan penunjang lainnya:
1)   Bronkoskopi: pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum, abses paru.
2)   Scanning isotop: pada kasus-kasus dengan emboli.
3)   Torakoskopi (fiber-optic pleuroscopy): pada kasus dengan neoplasma atau TBC.

g.    Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapatdinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan hemoragi, eksudat, dan transudat.
1)    Haemorrhagic pleural efusion, biasanya terjadi pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkulosis.
2)  Yellow eksudate pleural efusion, terutama terjadi pada kadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.
3)   Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klein dengan keganasan ekstrapulmoner.
 (Irman Somantri, 2000)

I.      DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
2.   Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal. (Arif Muttqin,2008)
3.   Gangguan rasa nyaman (nyeri) yang berhubungan dengan inflamasi parenkim paru-paru
4.   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan anoreksia. (Taqiyyah Bararah & Mohammad Juhar, 2013)

J.     FOKUS INTERVENSI (DENGAN RASIONALNYA)
1.    Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder tehadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
Kriteria evaluasi:
a.    Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal
b.   Pada pemeriksaan Rontgen thoraks tidak ditemukan adanya akumulasi cairan
c.    Bunyi napas terdengar jelas

Intervensi
Rasional
Identifikasi faktor penyebab.
Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat
Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, serta melaporkan setiap perubahan yang terjadi.
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.
Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90° atau miringkan ke arah sisi yang sakit.
Penurunan diafragma dapat memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
Miring ke arah kiri yang sakit dapat menghindari efek penekanan gravitasi cairan sehingga ekspansi dapat maksimal.
Observasi tanda-tanda vital (nadi dan pernapasan).
Peningkatan frekuensi napas dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
Lakukan auskultasi suara napas tiap 2-4 jam.
Auskultasi dapat menentukan kelainan suara napas pada bagian paru.
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif.
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau napas dalam. Penekanan otot-otot  dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan foto thoraks.
Pemberian O2 dapat menurunkan beban pernapasan dan mencegah terjadinya sianois akibat hipoksia.
Dengan foto thoraks, dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnyacairan dan kembalinya daya kembang paru.
Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis.
Tindakan thorakosentesis atau fungsi pleura bertujuan untuk menghlangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.


2.   Ketidak efektifan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi, bersihan jalan napas kembali efektif.
Kriteria evaluasi:
a.   Klien mampu melakukan batuk efektif.
b.   Pernapasan lien normal (16-20x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. Bunyi napas normal, Rh -/- dan pergerakan pernapasan normal.

Rencana intervensi
Rasional
Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas).
Penurunan bunyi naps menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapasan.
Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter dan volume sputum.
Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat).
Berikan posisi semifowler/fowler tinggi dan bantu klien latihan napas dalam dan batuk efektif.
Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.
Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea, bila perlu lakukan pengisapan (suction).
Mencegah obstruksi dan aspirasi. Pengisapan diperlukan bila klien tidak mampu mengeluarkan sekret. Eliminasi lendir dengan suction sebaiknya dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 10 menit, dengan pengawasan efek samping suction.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi:
Obat anti biotik
Pengobatan antibiotik yang ideal adalah dengan adanya dasar dari tes uji resistensi kuman terhadap jenis antibiotik  sehingga lebih mudah mengobati pneumonia.
Agen mukolitik
Agaen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk memudahkan pembersihan.
Bronkodilator: jenis aminofilin via intravena
Bronkodilator meningkat diameter lumen percabangan trakheobronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
kortikosteroid
Kortokosteroid berguna pada hipoksmia dengan keterlibatan luas inflamasi mengancam kehidupan.
(Arif Muttaqin,2008)

3.  Gangguan rasa nyaman (nyeri) yang berhubungan dengan inflamasi parenkim paru-paru
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri hilang atau berkurang.
Kriteria hasil:
a.    TTV normal.
b.    Klien nampak rileks.
c.     Klien dapat tidur.
d.     Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas.

Intervensi
Rasional
Tanyakan pasien tentang nyeri, tentukan karakteristik nyeri.
Membanatu dalam evaluasi gejala nyeri kanker yang dapat melibatkan visera, saraf atau jaringan tulang.
Buat skala nyeri 0-10 rentang intensitasnya.
Penggunaan skala rentang membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri.
Observasi TTV.
Untuk mengetahui penurunan tekanan darah, peningkatan nadi dan pernapasan.
Kaji pernyataan verbal dan nonverbal nyeri pasien.
Ketidak sesuaian antara verbal dan nonverbal menunjukkan derajat nyeri.
Evaluasi keefektifan pemberian obat.
Memberikan obat berdasarkan aturan.
Berikan tindakan kenyamanan, ubah posisi.
Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian.
Berikan lingkungan tenang.
Penurunan stres, menghemat energi.
Kolaborasikan:
Berikan analgesik rutin s/d indikasi.
Mempertahankan kadar obat, menghindari puncak periode nyeri.

4.   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan anoreksia
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam nutrisi klien dapat terpenuhi.
Kriteria hasil:
a.    Berat badan bertambah.
b.    Menunjukkan perubahan pola makan.
Intervensi
Rasional
Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan.
Berguna dalam mengidentifikasi derajat kurang nutrisi dan menentukan pilihan intervensi.
Berikan penjelasan tentang pentingnya makanan yang adekuat dan bergizi.
Meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan untuk menjaankan program diet sesuai aturan.
Pastikan pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
Awasi pemasukan/pengeluaran dan berat badan secar periodik.
Mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
Dorong klien untuk makan diet TKTP.
Peningkatan pemenuhan kabutuhan dan kebutuhan pertahanan tubuh.
Pertahankan hiegine mulut.
Akumulasi partikel makanan di mulut menmbah rasa ketidaknyamanan pada mulut dan menurunkan nafsu makan.
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian makanan.
Meningkatkan kemampuan asupan sesaui dengan kemampuan klien.

(Taqiyyah Bararah & Mohammad Juhar, 2013)

K.   PENATALAKSAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengalirkan cairan dalam kavitas pleura dan untuk mencapai ekspansi paru sempurna. Cairan dialirkan dan diresepkan antibiotic yang sesuai berdasarkan pada organism penyebab. Antibiotic dalam dosis yang besar biasanya diberikan. Streptokinase dapat juga dimasukan ke dalam ruang untuk mencegah akumulasi cairan lebih lanjut. Drainase cairan pleural tergantung pada tahap penyakit dan dilakukan dengan:
1.    Aspirasi jarum (torakosentesis) dengan kateter perkutan yang kecil, jika cairan tidak terlalu banyak.
2.   Drainase dada tertutup menggunakan selang interkostal dengan diameter besar besar yang disambungkan ke drainase water-seal
3.   Drainase terbuka dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang mengalami penebalan, pus, dan debris serta untuk mengangkat jaringan paru yang sakit dibawahnya.

Penatalaksanaan klien dengan efusi pleura adalah dengan:
1.     Mengatasi penyakit yang mendasarinya
2.    Mencegah re-accumulation cairan
3.     Mengurangi ketidaknyaman dan dispnea.

Pengelolaan efusi pleura ditunjukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan (thorakosentesis). Indikasi untuk melakukan thorakosentesis adalah:
1.    Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.
2.    Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
3.    Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura, tidak bleh lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan edema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak.
Kerugian thorakosentesis adalah:
a.   Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura.
b.    Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.
c.     Dapat terjadi pneumothoraks.
(Arif Muttaqin,2008)
a.   Bantu pasien untuk mencari posisi yang paling sedikit nyerinya.
b.   Dalam tindakan psikologis kurangi ansietas dengan memberikan informasi yang sering, sederhana,jelas tentang apa yang sedang dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap pengobatan.
(Taqiyyah Bararah & Mohammad Juhar, 2013)


BAB III


A.   Kesimpulan
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan karena terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis. Efusi  pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita.
Etiologi terhadap efusi pleura adalah pembentukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh banyak keadaan yang dapat berasal dari kelainan paru sendiri, misalnya infeksi baik oleh bekteri atau virus.
Gejala klinis efusi pleura yaitu nyeri pada pleuritik dan batuk kering dapat terjadi. Cairan pleura yang berhubungan dengan adanya nyeri dada biasanya eksudat. Gejala fisik tidak dirasakan bila cairan kurang dari 200 – 300 ml. Tanda – tanda yang sesuai dengan efusi pleura yang lebih besar adalah penurunan fremitus, redup pada perkusi dan berkurangnya suara napas.

B.    Saran
Untuk Institusi
Untuk pencapaian kualitas keperawatan secara optimal 
secara optimal sebaiknya proses keperawatan selalu 
dilaksanakan secara berkesinambungan.
Untuk Klien dan Keluarga
Perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan 
karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa
perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang 
diharapkan tidak tercapai.



DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Taqiyyah dan Mohammad Jauhar. 2013. Asuhan keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta: Prestasi Pustaka
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C dan Breanda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
(http.doc-alfari.blogspot.nl/2011/05/komplikasi-efusi-pleura.html), diakses pada 6 Oktober 2014