Jurnal Resiko Perilaku Kekerasan



ASUHAN KPERAWATAN PADA Tn. M DENGAN MASALAH UTAMA RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI RUANG UPIP RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH



Oleh

Dedi Sanjaya


ABSTRAK

      Diagnosa resiko perilaku kekerasan muncul pada klien karena mengalami ganguan skizofrenia paranoid dan juga akibat dari penggunaan napza yang membuat pasien menagalami ganguan persepsi sensori, cara pikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya sehingga mendorong pasien melakukan perilaku kekerasan. Dalam kasus ini muncul diagnosa antara lain perubahan persepsi sensori: Halusinasi, resiko mencederai diri sendiri dan lingkungan, tetapi penulis memfokuskan hanya pada resiko perilaku kekerasan.

Kata kunci:resiko perilaku kekerasan



PENDAHULUAN
Latar belakang
Gangguan jiwa artinya gejala-gajala yang patologik dari unsur psike. Dimana yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia adalah keturunan, konstitusi, umur dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, bebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang dicintai, agreesi, rasa permusuhan, hubungan antara manusia, dan sebagainya. (Dierja, 2011)
Diperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa di seluruh dunia mencapai hampir 450 juta orang, dimana sepertiganya berdomisili di negara-negara berkembang. (WHO (Puskesmas Makale, 2012)) Di negara-negara dengan pendapatan  penghasilan rendah dan menengah, antara 76% dan 85% dari orang-orang dengan gangguan mental tidak menerima pengobatan. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, antara 35% dan 50% dari orang-orang dengan gangguan mental berada pada situasi yang sama. (WHO, 2015)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. (Kemenkes, 2014)
Dari hasil data dan informasi kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 jumlah kunjungan gangguan jiwa di provinsi jawa tengah sebanyak 260.247. (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014)
Kata skizofrenia terdiri dari dua kata, yaitu skhizein = spilit =pecah dan phrenia = mind = pikiran. Jadi skizofrenia adalah gangguan psikotik yang sifatnya merusak, melibatkan gangguan berfikir, persepsi, pembicaraan, emosional, dan gangguan perilaku.
Tipe skizofrenia paranid adalah gangguan psikomotor, sperti adanya stupor, negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi dan matisme (bisu), cenderung mngalami waham kebesaran, ansietas, marah dan agumentatif, berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau orang lain, keterampilan kognitif dan afektif tetap utuh. (Lisa FR, 2013)
Narkoba adalah zat-zat yang mengubah mood seseorang. Saat menggunakan narkoba, mood, perasaan, serta emosi seseorang ikut terpengaruh. Narkoba dapat mengakibatkan ekstrimnya perasaan, mood atau emosi penggunanya. Jenis-jenis narkoba tertentu, terutama alkohol dan jenis-jenis narkoba yang termasuk dalam kelompok uppers seperti Shabu-shabu, dapat memunculkan perilaku agresif yang berlebihan dari si pengguna, dan seringkali mengakibatkannya melakukan perilaku atau tindakan kekerasan. Terutama bila orang tersebut pada dasarnya memang orang yang emosional dan bertemperamen panas.
Perilaku yang tidak asrertif seprti menekan perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan kemudian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan pada diri sendiri. (Purwanto, 2015)
Menurut data rekam medik RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang tahun 2016. Jumlah penderita gangguan jiwa 10 besar selama periode 1 Februari 2016 sampai dengan 31 Februari 2016 yaitu, pasien di IGD : unddiferentiated schizophrenia 20 orang, paranoid schizophrenia 14 orang, acute schizophrenia-liken psychotic disorder 9 orang, sever depressive episode with psychotic 9 orang, rasidual schizophrenia 7 orang, mental & behavi.disor.multipl. 4 orang, catatonic schizophrenia 3 orang, moderate depressive episode 3 orang, severe depressive episode without psychotic sympto 3 orang, unspecified dementia 2 orang. Dengan total IGD 74 orang. Pasien rawat inap : unddiferentiated schizophrenia 39 orang, paranoid schizophrenia 25 orang, sever depressive episode with psychotic symptoms 7 orang, hebephrenic schizophrenia 6 orang, catatonic schizophrenia 4 orang, acute schizophrenia-liken psychotic disorder 4 orang, grend mal seizures, unspecified (wiht or without) 4 orang, non-insulin-dependent diabetes melitus without complication 3 orang, mental & behavi.disor.multipl. 3 orang, schizoaffective disorder, depressive type 3 orang. Dengan total rawat inap 98 orang. Pasien rawat jalan : rasidual schizophrenia 896 orang, paranoid schizophrenia 424 orang, undiffertiated schizophrenia 314 orang, generalized idiopathic epilepsy and epileptic synd 182 orang, sever depressive episode with psychotic symptoms 151 orang, moderat depressive episode 118 orang, hebephrenic schizophrenia 106 orang, necrosis of pulp 106 orang, schizoaffective disorder, depressive type 47 orang, generalized anxiety disorder 46 orang. Dengan totoal rawat jalan 2.390 orang.
Jadi, total keseluruhan pasien di RSJD Amino Gondohutomo selama periode 1 Februari sampai dengan 31 Februari 2016, sebanyak 2562 orang. Dengan gangguan terbanyak residual schizophrenia sebanyak 896 orang, urutan kedua paranoid schizophrenia 463 orang, dan ketiga undifferentiated schizophrenia 59 orang dan seterusnya. Dimana paranoid schizophrenia menempati posisi kedua disetiap instalasi, berbeda dengan residual schizophrenia sebagai gangguan jiwa terbanyak tetapi tidak ditemukan pada pasien rawat inap. (RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Prov. Jateng, 2016)
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat karya tulis ilmiah dengan judul “Asuhan Keprawatan pada Tn. M dengan Masalah Utama Resiko Perilaku Kekerasan di Ruang UPIP RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah”. Dengan diangnosa medis Paranoid Schizophrenia.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum
            Setelah melakukan tinjauaan pustaka, penulis mampu memahami, mengrti dan memberikan asuhan keprawatan dengan komunikasi teraupetik pada Tn. M dengan resiko perilaku kekerasan di ruang UPIP RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.


Tujuan Khusus
  a.    Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. M dengan 
 resiko perilaku kekerasan.
  b.   Penulis mampu mengidentifikasi diagnosa atau mesalah keperawatan pada 
 Tn. M dengan resiko perilaku kekerasan.
  c.    Penulis mampu mempelajari cara menentukan intervensi keperawatan pada 
 Tn. M dengan resiko perilaku kekerasan.
  d.    Penulis mampu melaksanakan implementasi dan evaluasi keperawatan   pada 
 Tn. M dengan resiko perilaku kekerasan
 e.    Penulis mampu membahas kesenjangan antara teori dengan kasus resiko 
 perilaku kekerasan pada Tn M.
  f.     Penulis mampu menggambarkan faktor pendukung dan penghambat    
 dalam pemberian asuhan keperawatan pada Tn M dengan masalah utama 
 resiko perilaku kekerasan.

Metode Penelitian
a.  Teknik Wawancara
Penulis melakukan tanya jawab secara langsung baik kepada klien, keluarga klien, perawat, dan dokter yang merawat guna memperoleh data-data yang dibutuhkan.
b.  Teknik Observasi
Penulis melakukan pengamatan secara langsung untuk dapat melihat secara langsung keadaan klien dan proses asuhan keperawatan pada klien.
c.   Studi Dokumentasi
Penulis mengumpulkan data atau informasi melalui catatan keperawatan status klien serta mengadakan diskusi dengan tim kesehatan di ruang dimana klien dirawat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian
1.    Diskripdi Data Pasien
Pengkajian dilakukan pada hari Sabtu, 27 Februari 2016 pada pukul 09.00 WIB di ruang UPIP RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang secara alloanamnesa dan autoanamnesa dengan hasil data sebagai berikut :
Nama Tn. M, 29 tahun, berjenis kelamin laki-laki, alamat Semarang, beragama Islam, status belum menikah, pendidikan SMP. Klien dirawat di Rumah Sakit Jiwa dengan diagnosa Paranoid Schizophrenia pada tanggal 18 Februari 2016 dengan nomor RM 00109238. Penanggung jawab bernama Ny. S   jenis kelamin perempuan dan hubungan dengan klien sebagai ibu kandung.
Klien di bawa ke RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang karena selama 1 hari mengamuk di pasantren, menyrang penghuni pasantren, tetapi klien tidak tinggal di pasantren melainkan rumah klien disebelah pasantren.
Berdasarkan pengkajian terhadap faktor predisposisi, kurang lebih lima tahun klien bekerja sebagai buruh pabrik kayu bekerja dua belas jam perhari, dari jam tujuh pagi hingga jam tujuh malam dan klien selalu mengonsumsi dextro, komix atau hexymer sebagai doping didalam bekerja yang didapat dari teman tempat klien bekerja, klien juga mengatakan sering mengonsumsi minuman beralkohol. Klien mengatakan selalu dianggap salah dan dikucilkan oleh saudara maupun tetangganya. Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini. Tidak ada aniaya fisik, anaiya seksual, penolakan dan kekerasan dalam keluarga.
Berdasarkan pengkajian terhadap faktor presipitasi, klien mengatakan dirinya dicari polisi selama tiga hari sebelum dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena kasusus pembunuhan yang bukan dilakukan oleh klien. Klien mengatakan yang melakukannya adalah mantan guru agama klien di pasantren yang menghilang dari pasantren, sehingga klien meras murid dari gurunya yang menghilang tersebut ingin menangkap dan menyerahkan klien ke polisi sebagai pelaku pembunuhan tersebut atas perintah gurunya dan klien mengtakan setiap kali melihat murid dari gurunya klien merasa ada yang membisikkan untuk menyuruh klien untuk memukuli murid dari gurunya. Oleh karena itu klien merasa kesal dan jengkel kemudian mengamuk. Klien mengatakan jika sedang jengkel jantungnya berdebar-debar, emosi meningkat, tegang, rahang mengatup, tangan mengepal dan mata melotot. Klien mengatakan tidak ada hubungan yang lebih dengan korban pembunuhan tersebut hanya sekedar teman biasa.  
Terapi yang didapat Olanzapin 1x10mg. Dengan terapi TAK, ECT 5 kali dan rehabilitasi serta konseling NAPZA.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data ketika sedang tersinggung nada bicara menjadi tinggi dan cepat, raut wajah tampak tegang, mata tampak melotot. tekana darah 120/80 mmhg, nadi 90 x/menit, suhu 36 °C, pernapasan 22x/menit, tinggi badan 165 cm, berat badan 67 kg, terdapat bekas luka tusukan pada perut kanan bawah. Tidak ada masalaah keperawatan.

2.    Analisa Data
Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn. M, didapatkan hasil analisa data dengan masalah keperawatan diantaranya adalah data subjektif klien mengatakan murid dari gurunya ingi menangkap dirinya dan menyerahkan dirinya pada polisi sehingga klien memukuli murid dari gurunya dan mengamuk. Sedangkan data objektifnya adalah klien tampak emosi jika disinggung tenteng gurunya yang menghilang, ketika sedang tersinggung nada bicara menjadi tinggi dan cepat, raut wajah tampak tegang, mata tampak melotot. Maka dapat diambil masalah Resiko Perilaku Kekerasan.
Sedangkan analisa data lainnya yaitu didapatkan data subjektif klien mengatanak ada yang berbisik jika murid dari gurunya ingin menangkap dirinya dan bisikan tersebut menyuruhnya memukuli murid dari gurunya tersebut. Sedangkan data objektifnya klien tampak bingung dengan kondisi yang dialaminya. Dari hasil analisa dapat diambil masalah Halusinasi.

3.    Diagnosa Keperawatan
Dari hasil analisa data yang didapat pada hari Kamis, 25 Februari 2016, penulis mengambil diagnosa resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan resiko perilaku kekerasan. Hal ini didukung dengan data subjektif klien mengatakan murid dari gurunya ingi menangkap dirinya dan menyerahkan dirinya pada polisi sehingga klien memukuli murid dari gurunya dan mengamuk klien mengatanak ada yang berbisik jika murid dari gurunya ingin menangkap dirinya dan bisikan tersebut menyuruhnya memukuli murid dari gurunya tersebut. Sedangkan data objektifnya adalah klien tampak emosi jika disinggung tenteng gurunya yang menghilang, ketika sedang tersinggung nada bicara menjadi tinggi dan cepat, raut wajah tampak tegang, mata tampak melotot.

4.    Intervensi Keperawatan
Penulis menyusun rencana tindakan keperawatan pada Tn. M dengan masalah keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan dengan tujuan umum klien mampu mengandalikan/mengontrol perilaku kekerasan.
Adapun tujuan khusus yang pertama, klien dapat membina hubungan saling percaya. Intervensi yang dilakukan adalah : beri salam atau panggil nama klien, sebutkan nama perawat sambil jabat tangan, jelaskan maksud hubungan interaksi, jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat, beri rasa aman dan sikap empati dan lakukan kontak singkat tapi sering.
Tujuan khusus yang kedua, klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : beri kesempatan mengungkapkan perasaan, bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal, dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
 Tujuan khusus yang ketiga, klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami saat jengkel/marah, observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel/kesal yang dialami klien.
 Tujuan khusus yang keempat, klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Intervensi yang dilakukan adalah : anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan (verbal, pada orang lain dan pada diri sendiri), bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan dan bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai.
 Tujuan khusus yang kelima, klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan, bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan dan tanyakan kepada klien ”apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
 Tujuan khusus yang keenam, klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien, beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien, diskusikan dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan yaitu tarik nafas dalam dan pukul kasur atau bantal, diskusikan cara melakukan tarik nafas dalam dengan klien, beri contoh kepada klien tentang cara tarik nafas dalam, minta klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 (lima) kali, beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik nafas dalam, tanyakan perasaan klien setelah selesai, anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat marah atau jengkel.
 Tujuan khusus yang ketujuh, klien dapat mendemonstrasikan cara verbal untuk mencegah perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : diskusikan cara bicara yang baik dengan klien, beri contoh bicara yang baik (meminta dengan baik, menolak dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik), minta klien mengulang sendiri, beri pujian atas keberhasilan klien, diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat dilatih di ruangan misalnya meminta obat, baju dan lain-lain, menolak ajakan merokok, tidur tidak pada waktunya, menceritakan kekesalan kepada perawat, susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari, klien mengevaluasi pelaksanaan latihan cara bicara yang baik dengan mengisi jadwal kegiatan, validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan dan beri pujian atas keberhasilan klien.
 Tujuan khusus yang kedelapan, klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan, bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat dilakukan di ruang rawat, bantu klien memilih kegiatan ibadah yang akan dilakukan, minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih, beri pujian atas keberhasilan klien, diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan kegiatan ibadah, klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan mengisi jadwal kegiatan harian, beri pujian atas keberhasilan klien, diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan kegiatan ibadah dan klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan mengisi jadwal kegiatan harian (self evaluation).
 Tujuan khusus yang kesembilan, klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara teratur, diskusikan tentang proses minum obat dan klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan mengisi jadwal kegiatan harian.
 Tujuan khusus yang kesepuluh, klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : anjurkan klien untuk ikut TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku kekerasan, diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK dan klien mengevaluasi pelaksanaan TAK dengan mengisi jadwal kegiatan harian.
 Tujuan khusus yang kesebelas, klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan adalah : identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai dengan yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini, jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat klien, jelaskan cara-cara merawat klien, bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien, bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi dan anjurkan keluarga mempraktekkannya pada klien selama di rumah sakit dan melanjutkannya setelah pulang ke rumah.

5.    Implementasi dan Evaluasi
Implementasi rencana tindakan keperawatan  kepada Tn. M dengan masalah keperawatan resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan dimulai dengan pertemuan pertama pada hari Sabtu,  27 Februari 2016 jam 09.00 dengan tujuan umum supaya klien dapat mengontrol perilaku kekerasan. Sedangkan tujuan khusus yang dilakukan berupa strategi pelaksanaan (SP) pada pasien :
Pertemuan pertama :
membina hubungan saling percaya,  mengidentifikasi penyebab klien memukuli murid pasantren dan mengamuk, memberi kesempatan klien mengungkapkan perasaannya, menganjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami atau dirasakan saat klien memukuli orang lain dan mengamuk, menanyakan perilaku kekerasan apa yang dilakukan ketika klien mengamuk, mendiskusikan bersama tentang akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan klien ketika mengamuk, menyebutkan dan menjelaskan beberapa cara mengontrol marah dengan cara fisik I tarik nafas dalam, membantu mempraktekkan cara mengontrol marah dengan  cara tarik napas dalam dan menganjurkan klien memasukkannya ke dalam jadwal harian.
Setelah dilakukan pertemuan pertama pada pasien didapatkan data subjektif dan objektif yaitu klien mengatatak “nama saya MI, saya biasa dipanggil I” klien tampak senag diajak berkenalan dengan perawat. Selain itu pasien juga dapat mengungkapkan perasaan marah yang dialaminya pasien mengatakan “saya kesal karena dicari polisi setiap hari dituduh pelaku pembunuhan yang bukan saya pelakunya, terus ada yang berbisik ditelinga saya mengatakan kalau murid dari guru saya mau meyerahkan saya kepolisi dan bisikan teersebut menyuruh untuk memukuli mereka, karena emosi saya marah, memgamuk dan memukuli penghuni pasantren.” Klien tampak mengekspresikan ceritanya denagan emosi yang tinggi, klin tampak marah, bicara dengan nada tinggi dan tegas, wajah tampak tegang. Kemudian jika ditanya tentang kerugian marah yang dialami klien mengatakan “ya rugi mas, gak bisa kerja, orang-orang jadi takut sama saya terus kasian sama keluarga, karena cumal bisa merepotkan mereka mas.” Saat ditawarkan cara mengontrol marah yang dialami klien langsung tertarik dan mau belajar, perawat mengajarkan cara fisik I yaitu latihan tarik nafas dalam klien mengatakan “rasanya lebih nyaman setelah tarik nafas dalam, rasanya plong seperti beban yang ada ikut bersama hembusan nafas mas”.
Asisment/kesimpulan yang didapat klien dapat membina hubungan saling percaya dengan baik, klien dapat mengidentifikasi marah yang dilakukan dan akibatnya dengan baik, dan mampu latihan nafas dalam dengan baik.
Planning selanjutnya menganjurkan klien latihan nafas dalam tiga kali sehari (pagi, siang dan malam). Membuat kontrak untuk pertemuan kedua yaitu menganjurkan klien cara mengontrol marah dengan cara fisik II yaitu dengan menyalurkan energi/pukul bantal/kasur.
Pertemuan kedua :
Dilakukan pada hari Minggu, 28 Februari 2016 jam 09.30 dilakukan untuk implementasi kedua yaitu mengevaluasi tindakan sebelumnya latihan fisik I tarik nafas dalam dan latihan menyalurkan energi dengan cara pukul bantal dan memasukkannya kedalam jadwal harian pasien.
Setelah dilakukan pertemuan kedua pada pasien didapatkan data subjektif dan objektif yaitu mengevaluasi kembali latihan fisik I tarik nafas dalam klien mengatakan “saya sudah bisa melakukannya dengan baik, tarik nafas dari hidung tahan hembuskan perlahan dari mulut yang saya lakukan pada pagi, siang dan malam hari.” Klien tampak sudah menguasai teknik nafas dalam. Kemudian dilanjutkan dengan latihan fisik II menyalurkan energi dengan cara pukul bantal/kasur klien mengatakan “capek mas, tapi rasanya jadi puas.” Klien tampak dapat melakukan latihan fisik II dengan baik.
Asesment/kesimpulan klien mampu melakukan latihan fisik I tarik nafas dalam sesuai jadwal, klien mampu melakukan latihan fisik II memukul bantal/kasur dengan baik.
Planning menganjurkan klien memasukkan latihan pukul bantal kedalam jadwal latihan harian sebanyak dua kali sehari (pagi dan malam hari)  atau jika klien merasa marah. Membuat kontrak untuk pertemuan ketiga pada pasien pada hari berikutnya yaitu mengontrol marah dengan cara sosial atau verbal.
Pertemuan ketiga :
Dilakukan pada hari Senin, 29 Februari 2016 jam 09.30 dilakukan untuk implementasi ke tiga yaitu mengevaluasi tindakan sebelumnya yaitu latihan fisik II memukul bantal/kasur dan mengontrol marah dengan cara sosial/verbal.
Setelah dilakukan pertemuan ketiga didapatkan data subjktif dan objektif sebagai berikut klien mengatakan “saya sudah bisa latihan memukul bantal sesuai jadwal dan juga saat saya merasa marah.” Klien juga memiliki inisiatif sendiri dengan berkata “bolehkah jika saya melakukan puss up untuk menyarlurkan energi untuk mengontrol marah saya?” Klien tampak mulai kooperatif. Kemudian dilanjutkan latihan cara mengontrol marah dengan cara sosial/verbal yaitu meminta dengan baik, menolak dengan baik dan mengungkapkan perasaan dengan baik. Klien mengatakan “saya akan berusaha dan melatih diri saya untuk bersosialisasi dengan orang lain dengan baik mulai dari meminta dengan baik, menolak dengan baik dan mengungkapkan perasaan saya tanpa marah-marah.”
Asesment/kesimpulan klien mampu melakukan latihhan fisik II sesuai jadwal dengan baik, klien juga mampu melakukan sosialisasi secara verbal.
Planning, membantu klien membuat jadwal latihan, meminta dengan baik, menolak dengan baik dan mengungkapkan perasaannya dengan baik. Mengontrak pasien hari selanjutnya untuk melakukan pertemuan keempat yaitu mengontrol marah dengan cara spiritual (sholat dan berdoa).
Pertemuan keempat :
Dilakukan pada hari Selasa, 1 februari 2016 jam 09.30 dilakukan untuk implementasi ke empat yaitu mengevaluasi tindakan sebelumnya yaitu mengontrol marah dengan cara soaial/verbal. Kemudian dilanjutkan latihan mengontrol marah dengan spiritual (sholat/berdoa).
Setelah dilakukan pertemuan keempat pada pasien didapatkan hasil subjektif dan objektif pada pasien yaitu klien mengatakan “saya sudah bisa mengontrol marah dengan cara tarik nafas dalam, memukul bantal, dan bersosialisasi dengan baik dengan teman yang lain.” Klien tampak mampu melakukan semua latihan yang telah diberikan dengan baik, klien juga tampak  kooperatif. Kemudian dilanjutkan dengan latihan cara mengontrol merah dengan beribadah (sholat dan berdoa). Klien mengatakan “saya bisa melakukannya dengan baik.” Klin tampak dapat beribadah dan berdoa dengan baik. Klien mendapat didikan dari pasantren. Klien juga mengatakan “bolehkah saya meminjam Al’Quran saya akan menjaganya.” Klien tampak sangat baik dalam melakukan ibadahnya.
Asesment/kesimpulan klien tampak mampu melakukan semua latitan yang telah diberikan  pada pertemuan sebelumnya dan mampu melakukan ibadah dengan sangat baik.
Planning, bantu pasien membuat jadwal ibadah sesuai keyakinan pasien dengan beribadah lima kali sehari yaitu (Subuh, Zuhur, Asar, Mangrib dan Isa). Mengontrak pasien untuk latihan mengontrol marah dengan cara teratur minum obat dengan prinsip lima benar pada hari berikutnya.
Pertemuan kelima :
Dilakukan pada hari Rabu, 2 Februari 2016 jam 09.30. Dilakukan untuk mengevaluasi tindakan sebelumnya dan melakukan implementasi yang ke lima yaitu latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat dan benar dosis obat).
Setelah dilakukan pertemuan kelima pada pasien dapatkan data subjektif dan objektif sebagai berikut klien mengatakan, “saya sudah bisa mengontrol marah dengan cara tarik nafas dalam dengan dilakukan beristifar, pukul bantal, bergaul tanpa marah denagan teman yang lain dan sholat secara teratur.” Klien tampak mampu meguasai semua tindakan yang telah di ajarkan pada pasien. Kemudian dilanjutkan dengan melatih pasien dengan cara benar minum obat. Klien mengatakan “sekarang saya diberikan obat warna kuning di berikan satu kali sehari pada malam hari, obatnya sebesar ujung jari kelingking.” Klien tampak mengetahui jadwal dan bentuk obat yang diberikan. Kemudian perawat menjelaskan fungsi obat, akibat dari putus obat dan efek samping obat dan mengajarkan klien lima cara benar minum obat. Klien mengatakan “saya mengerti dan akan minum obat secara teratur.” Klien tampak kooperatif.
Asesment/kesimpulan klien mampu melakukan latihan yang telah diberikan pada pertemuan sebelumnya dengan benar. Klien tampak mampu melakukan latihan pada pertemuan kelima dengan cara, lima benar minum obat  dengan benar.
Planning, membantu klien menyusun jadwal minum obat yang benar. Melakukan kontrak pada pasien untuk hari berikutnya untuk mengevaluasi tindakan-tindakaan yang telah diberikan dan ikut sertakan klien dalam TAK.

PEMBAHASAN

Hasil pengkajian yang penulis dapatkan dari Tn. M adalah klien merasa jika murid dari gurunya ingin menangkap dirinya dan menyerahkan dirinya pada polisi atas sebuah kasus pembunuhan dan ada yang membisikkan untuk memukuli murid dari gurunya tersebut. Klien mengatakan jengkel, marah dan mengamuk pada saat kejadian tersebut. Klien mengatakan jika sedang jengkel jantungnya berdebar-debar, emosi meningkat, tegang, rahang mengatup, tangan mengepal dan mata melotot. ketika sedang tersinggung nada bicara menjadi tinggi dan cepat, raut wajah tampak tegang, mata tampak melotot. klien tampak suka mengejek temannya, jika bicara dengan nada tinggi dan kasar, selalu mempertahankan pendapatnya.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.( Yosep, 2014)
Adapun tanda dan gejala dari perilaku kekerasan menurut Yosep (2014) tanda dan perilaku kekerasan diantaranya adalah :
1.      Fisik
Muka marah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, tangan   mengepal, rahang mengatup, wajah merah dan tegang, postur tubuh kaku, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir.
2.      Verbal
Bicarai kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara keras, ketus.
3.      Perilaku
Melmpar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
4.      Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkeel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5.      Intelektual
Mendominasi, cerewt, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6.      Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyingging perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.
7.      Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8.      Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
Dari tanda dan gejala pada teori tidak semuanya ditemukan pada Tn. M, kesamaan dan gejala dari teori yang ditemukan pada Tn. M yaitu jantungnya berdebar-debar, emosi meningkat, tegang, rahang mengatup, tangan mengepal, mata melotot, nada bicara menjadi tinggi dan cepat, raut wajah tampak tegang. Data tersebut sudah memenuhi tanda dan gejala yang harus ada pada pasien dengan perilaku kekerasan.
Menurut Yosep (2014) salah satu faktor penyebab dari perilaku kekerasan yaitu faktor biologis dimana penelitian neorobiologis membuktikan kerusakan sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus temporal (untuk interprestasi indra penciuman dan memori) dapat menimbulkan perilaku agresif, faktor lainnya yaitu faktor predisposisi yang menyatakan bahwa seseorang akan berespon marah apabila dirinya merasa terancam. Faktor tersebut sesuai dengan yang dialami Tn. M, dimana Tn.M sering megonsumsi penyalah gunaan obat dan alkohol yang kita tau dimana Napza dapat mengakibatkan kerusakan sistem neorologi dan pasien merasa terancam inilah yang akhirnya membuat pasien cenderung mengarah pada perilaku kekerasan.
Diagnosa keperawatan yang dialami diantaranya :
1.         Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2.         Resiko perilaku kekerasan
3.         Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
Berdasarkan pengkajian yang penulis lakukan pada Tn. M pada tanggal 27 Februari 2016. Penulis mengangkat diagnosa keperawatan perilaku kekerasan.
Pada saat pengkajian penulis menemukan data yang menyebabkan klien melakukan perilaku kekerasan, yaitu gangguan konsep diri : Halisinasi. Namun penulis hanya memprioritastan pada diagnosa yang penulis angkat, yaitu resiko perilaku kekerasan.
Implementasi yang penulis gunakan yaitu berdasarkan pertemuan yang telah dijanjikan/kontrak dengan pasien. Dimana metode ini penulis merasa lebih efektif dalam mengevaluasi latiahan yang telah dibrikan sebelumnya, karena masalah yang dialami sesorang dan kemampuan seseorang dalam menerima informasi berbeda-beda.
Implementasi yang penulis lakukan tidak bisa maksimal karena penulis hanya mampu melaksanakan intervensi untuk klien sedangkan untuk keluarga penulis mengalami hambatan karena keluarga tidak datang menjenguk.
Pada pertemuan pertama pada tanggal 27 Februari 2016, 09.00 penulis melakukan implementasi di ruang tamu karena ruang tersebut tempat dimana pasien dan perawat lain berkumpul, sehingga lebih mudah bagi penulis dalam membina hubungan terapeutik. Pada pertemuan pertama ini penulis sudah mampu membina hubungan saling percaya, pada pertemuan kedua penulis mengajarkan cara mengontrol marah dengan teknik nafas dalam. Pada pertemuan kedua penulis mengajarkan mengontrol marah dengan menyalukan energi pukul bantal/kasur dengan mengajak pasien jalan-jalan di sekitar rumah sakit dengan mengajak salah seorang perawat lain karena penulis khawatir apabila pasien kabur atau melakukan perilaku kekerasan. Pertemuan ketiga penulis mengajarkan pasien mengontrol marah dengan cara verbal (menolak, meminta dan mengungkapkan perasaan dengan baik). Pertemuan keempat penulis melatih pasien mengontrol marah dengan cara spiritual (sholat, berdoa dan mengkombinasikan nafas dalam dengan beristifar). Pada pertemuan kelima penulis melatih pasien mengontrol marah dengan cara benar minum obat ( benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat dan benar dosis obat).
Hasil evaluasi yang didapat setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. M selama  lima hari dari tanggal 27 sampai 2 Februari 2016, dan dilakukan evaluasi setiap harinya setelah pertemuan yang dilakukan, masalah yang dialami pasien berhasil teratasi. Hal ini dibuktikan dengan sudah terbina hubungan saling percaya, klien dapat mengidentifikasi penyebab marahnya, klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala marah, klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan dan klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah dengan cara fisik I yaitu dengan cara tarik nafas dalam dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian, klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah cara fisik yang kedua yaitu memukul bantal atau kasur dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian, klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah dengan cara verbal ( meminta, menolak dan mengungkapkan perasaan dengan baik) dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian, klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah dengan cara spiritual ( berdoa dan sholat dan mengkombinasikan tarik nafas dalam dengan beristifar) dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian, klien juga dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah dengan cara patuh minum obat.
Implementasi untuk keluarga tidak dilakukan karena keluarga pasien tidak datang. Hal ini sebenarnya bisa diatasi jika ada kontrak pertemuan antara perawat dan keluarga yang dijadwalkan sejak semula sehingga tindakan untuk keluarga bisa diimplementasikan sehingga ada kejelasan kapan keluarga akan datang. Oleh karena itu penulis mendelegasikan kepada perawat ruangan untuk melanjutkan implementasi pada keluarga.




SIMPULAN

Kesimpulan dari asuhan keperawatan dengan perilaku kekerasan adalah adalah perasaan yang timbul sebagai reaksi kecemasan kemudian menjadi respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman maupun kekerasan yang dapat dilakukan secara fisik maupun psikologis, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan, yang dibedakan menjadi perilaku kekerasan yang sedang berlangsung dan prilaku kekrasan terdahulu.
Klien yang mengalami perilaku kekerasan cendrung menunjukan perilaku maladaptif, begitu juga dengan Tn. M. Tanda-tanda perilaku kekerasan yang muncul pada Tn. M ada pada teori antara lain bicara dengan nada tinggi dan cepat, raut wajah tampak tegang, mata tampak melotot.
Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada Tn. M adalah Resiko Perilaku Kekerasan.
Untuk mengatasi masalah diagnosa tersebut, penulis menyusun rencana tindakan keperawatan kepada Tn. M, yaitu diantaranya adalah sebagai berikut : bina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perilaku kekerasan, identifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, identifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, identifikasi akibat perilaku kekerasan, mengajarkan cara mengontrol marah dengan teknik nafas dalam, mengajarkan mengontrol marah dengan menyalukan energi pukul bantal/kasur, mengajarkan pasien mengontrol marah dengan cara verbal, mengontrol marah dengan cara spiritual, melatih pasien mengontrol marah dengan cara benar atau patuh minum obat.
Setelah  disusunnya rencana tindakan keperawatan, kemudian penulis melakukan implementasi sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang telah direncanakan.
Setelah  penulis melakukan implementasi, kemudian didapatkan hasil evaluasi dengan tindakan yang diberikan dari pertemuan pertama sampai kelima berhasil dan dapat didemontrasikan oleh pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Dedihumas BNN, (2014). Dampak Langsung dan Tidak Langsung Penyalahgunaan Narkoba. Diakses tanggal 6 April 2016 dari http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014//03/20/957/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkoba
Dinkes Provinsi Jawa Tengah, (2014). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Hal 102. Diakses tanggal 1 April 2016 dari http://www.dinkesjatengprov.go.id/v2015/dokumen/profil2014/Profil_2014.pdf
Dierja, A. H. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Farmasi-id.Com, (2016). HEXYMER. Diakses tanggal 1 April 2016 dari http://www.farmasi-id.com/hexymer/
Farmasi-id.Com, (2016). LODOMER. Diakses tanggal 1 April 2106 dari
Farmasi-id.Com, (2016). MERLOPAM. Diakses tanggal 1 April 2016 dari

Harmono, P.A. (2011). Olanzapine untuk Obati Gangguan Saraf, Emosi, dan Mental. Diakses tanggal 28 Maret 2016 dari

http://m.detik.com/health/read/2011/11/16/071347/1768182/769/olanzapine-untuk-obat-gangguan-saraf-emosi-dan-mental

keliat, B. A. (2011). keperawatan keshatan jiwa komunitas : CMHN. jakarta: EGC.
Keliat, B. A. (2010). Model keperawatan profesional jiwa. Jakarta: EGC.
Kemenkes (2014). Stop Stigma dan Driskriminasi Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Diakses tanggal 29 maret 2016 dari http://www.depkes.go.id/article/view/201410270011/stop-stigma-dan-diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html
Kusumawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Lisa FR, J. (2013). Narkoba, Psikotropika, dan Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Nuh Medika.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Purwanto, T. (2015). Buku Ajar Keprawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Prov. Jateng, (2016). Laporan 10 Besar Penyakit. Diakses tanggal 29 Maret 2016 dari
WHO, Puskesmas Makale, (2012). Penderita Gangguan Jiwa hampir 450 Juta Orang. Diakses tanggal 28 Maret 2016 dari http://puskesmasmakale.blogspot.co.id/2012/10/who-penderita-gangguan-jiwa-hampir-450.html
WHO, (2015). Mental Disorders. Diakses tanggal 28 Maret 2016 dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs396/en/
Yosep, H. I. (2014). Buku Ajar Keprawatan Jiwa . Bandung: PT Refika Adiatama.